JANGKAU.COM – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mengutuk keras kasus dugaan penyerangan prajurit TNI dari Batalyon Artileri Medan Yon Armed2/125 Kilap Sumagan, terhadap warga di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Jumat (8/10/2024) malam.
KontraS menilai, penyerangan yang memakan korban jiwa dan luka berat ini adalah bentuk penyimpanagn dari peran, fungsi, tugas TNI sebagaimana tercantum dalam UU no 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Kasus harus menjadi evaluasi bagi TNI. Slogan “TNI Kuat Bersama Rakyat” seakan hanya sebatas kata. Tidak diinternalisasikan pada jiwa patriot prajurit.
“TNI harusnya kuat bersama rakyat, bukan kuat untuk membunuh rakyat. TNI yang harusnya menjaga kedaulatan negara malah begitu ringan tangan untuk menganiaya rakyat,” kata Staff Advokasi KontraS Sumut, Ady Yoga Kemit dalam rilis diterima, Senin (11/11/2024).
Lebih lanjut Ady menegaskan bahwasannya tindakan yang dilakukan oleh prajurit TNI Batalyon Yon Armed-2/105 KS menunjukkan bahwa reformasi TNI masih jalan di tempat.
Mandat reformasi TNI justru dikangkangi berulang kali. Salah satu mandat reformasi TNI adalah penghormatan terhadap hak asasi manusia termasuk memastikan prinsip supremasi sipil dalam penyelenggaraan negara tetap terjaga.
Namun sebaliknya, prajurit TNI lagi-lagi tidak menjunjung tinggi prinsip HAM dan tidak benar-benar berdiri bersama kekuatan rakyat. Para prajurit malah menambah catatan buruk dengan melakukan penyerangan, pemukulan, penggunaan senjata, ancaman terhadap warga sipil yang memberikan rasa takut dan berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi TNI.
“Sejatinya Intitusi keamanan dan pertahanan negara ini tidak lagi memiliki keraguan untuk
memberikan sanksi kepada prajurit yang melanggar dan menegakkan supremasi hukum, sebagaimana diamanatkan oleh UU TNI itu sendiri,” tegas Ady.
Selain itu, berkaitan dengan penegakan hukum untuk para prajurit TNI yang melakukan
pelanggaran, KontraS juga beranggapan bahwa masih terdapat kegagalan dalam perbaikan sistem peradilan militer. Rendahnya tingkat akuntabilitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat militer merupakan isu yang masih signifikan.
“Sistem peradilan militer sebaiknya dihindari atau tidak boleh mengadili anggota militer yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat, seperti penculikan, eksekusi tanpa proses hukum, dan penyiksaan, serta menggugat dan mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan semacam itu,” katanya
Penyerangan ini juga diduga terjadi adanya pembiaran dari komandan pasukan sebagai atasan para prajurit. Pembiaran dan pembenaran terhadap kekerasan tersebut berpotensi berbahaya karena dapat menciptakan preseden buruk yang akan memicu kekerasan lain di masa depan.
“Dalam kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI di Kecamatan sibiru-biru, kita dapat melihat adanya penggunaan kekuatan berlebihan untuk melakukan penghukuman secara sepihak di luar prosedur hukum. Perlakuan tidak manusiawi tersebut telah menghilangkan nyawa dan menyebabkan penderitaan fisik dan psikis yang luar biasa terhadap para korban,” terangnya.
Penyerangan prajurit TNI kepada warga kembali memantik betapa pentingnya reformasi sektor keamanan di Indonesia. Aparat militer dan aparat penegak hukum mestinya menjadi lembaga keamanan yang melayani warga negara dan menyediakan keamanan yang berpusat pada rakyat.
Sehingga dapat mengurangi kecenderungan tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan keamanan negara.
“TNI harusnya berdiri bersama rakyat, bukan malah berlari-lari mengejar, memukul, dan menindas rakyat,” tukas Ady.
Penyerangan prajurit ini menambah catatan kelam kasus penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI. Setidaknya ada tujuh peristiwa penyiksaan di Sumatera Utara yang diduga dilakukan oleh oknum TNI. Enam di antaranya dilakukan oleh TNI AD.
“Reformasi Sektor Keamanan menjadi penting untuk segera dilakukan hal tersebut dapat menciptakan lembaga keamanan yang melayani warga negara dan menyediakan keamanan yang berpusat pada rakyat. Sehingga dapat mengurangi kecenderungan tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan keamanan negara,” jelasnya.
Dalam kasus ini, KontraS Sumut menuntut Panglima Kodam I/BB untuk bertanggungjawab. Mendesak proses hukum terhadap seluruh prajurit yang terlibat penyerangan warga Sibiru-Biru.
“Proses hukum yang dilakukan juga harus transparan dan profesional. Jangan karena ingin menjaga citranya, TNI justru menutupi kasus ini,” kata Ady.
KontraS juga mendesak adanya evaluasi serta tanggung jawab dari pimpinan TNI yang dinilai telah abai dalam melakukan pemantauan terhadap prajuritnya. Memastikan proses pemulihan hakhak korban serta perlindungan kepada masyarakat Sibiru-Biru yang masih mengalami trauma melalui peran Komnas HAM dan LPSK.