JANGKAU.COM – Hari Tani Nasional (HTN) biasa sering disebut sebagai lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Hari Tani Nasional ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani oleh Presiden Soekarno.
Sumatera Utara Sampai sekarang masih menjadi provinsi yang memiliki letusan konflik agraria tertinggi disebabkan karna Negara (pemerintah khususnya) tidak menjalankan dan melaksanakan reforma Agraria seperti yang dimandatkan Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960.
UUPA sendiri merupakan manifestasi dari Pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang memandatkan Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi Bangsa Indonesia mengatur peruntukkan, penggunaan, pemanfaatan tanah dan sumber- sumber agraria agar lebih berkeadilan dan memberikan kemakmuran bagi seluruh rakyat melalui reforma agraria.
Catatan Akhir Tahun KPA tahun 2023 Letusan konflik tertinggi yang terjadi masih berada di Provinsi Sumatra Utara, dengan jumlah mencapai 33 dengan luas mencapai 34.090 hektar dan korban terdampak sebanyak 11.148 kepala keluarga.
Letusan konflik tersebut tersebar di 25 desa di berbagai kabupaten. dimana hampir bisa dipastikan kesemuanya adalah petani, Masyarakat adat yang tidak berdaya yang dirampas ruang hidupnya melalui perampasan tanah dan dalil dalil penyelamatan aset negara, wilayah kawasan hutan, PSN, Ketahan pangan Nasional (Food estate) dan kawasan wisata premium.
Situasi agraria di Indonesia khususnya di Sumatera Utara sedang dalam keadaan mengerikan. Terbukti dari banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh korporasi dengan pemerintah melalui upaya paksa penggusuran terhadap petani dengan berbagai teknis dan gaya.
Sebaran kehilangan penghidupan petani dan masyarakat adat
Dalam catatan Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) 3 tahun terakhir setidaknya ada 259 Hektar lokasi yang dikuasai kampung BPRPI dengan total 521 Keluarga dan 2.176 jiwa terpaksa tidak lagi dapat penghidupan yang layak karena dirampas tanahnya oleh PTPN II (Kampoeng Duren Selemak dan Kompoeng Partumbukan kab. Langkat), Sedangkan di Deli Serdang dengan proyek Sport Center, sangat berpotensi 9 hektar dan 50 Keluarga/120 jiwa orang bakal kehilangan tanah dan penghidupannya yang berada di Kampoeng Tumpatan Nibung, Desa Sena, Deli Serdang dan belum lagi lokasi lainya yang mungkin jauh lebih luas dibandingkan data yang kami paparkan diatas.
Lokasi lain yang sangat berpotensi merugikan dan menyengsarakan petani dan masyarakat adat adalah proyek jalan Tol Stabat-Langsa yang menggusur lahan petani dan masyarakat adat seluas 117 hektar yang dikelola oleh masyarakat kampung Pantai Gemi berjumlah 172 keluarga dan 618 jiwa. Rencana proyek lainnya adalah proyek Deli Mega Politan dimana seluas 1.303 hektar tanah yang di kuasai 2.797 KK atau 10.347 jiwaakan digusur sehingga akan terjadi kemiskinan struktural.
Belum lagi kita melihat sebaran diwilayah lain, di Serdang Bedagai terdapat 121 hektar tanah yang dikuasai oleh petani Karya Mandiri Dolok Merawan berjumlah 118 keluarga dan 449 jiwa yang di gusur pada bulan Juni 2024 dengan dalil penyelamatan aset negara dilakukan pihak PTPN IV kebun Bangun, Sedangkan di Kota Pematangsiantar kelurahan gurilla organisasi rakyat Futasi dengan luasan lahan 126 hektar dan dikuasai sejak 2004 oleh 350 keluarga dengan 1.208 jiwa yang juga mengalami pengusuran yang dilakukan PTPN III yang sekarang menjadi PTPN IV region 1 kebun bangun sejak tahun 2021 sampai sekarang yang berdampak hilangnya sumber penghidupan masyarakat masyarakat menjadi korban kekerasan dan dihukum penjara padahal lokasi-lokasi tersebut sudah diususlkan menjadi Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) di Kementerian ATR/BPN sejak tahun 2017, sayangnya sampai saat ini belum ada tindaklanjut atau kepastian atas hal tersebut.
Kasus lainnya adalah kelompok Tani Lepar lau Tengah yang terpaksa berhadapan dengan PT. Nirvana perusahaan Memorial Nusantara yang bergerak dibidang pengadaan pekuburan elit. Dalam perjalannya terjadi peralihan hak atas kepemilikan tanah di atas tanah masyarakat seluas ± 75 Ha dengan dalil bahwa PT. Nirvana Memorial Nusantara telah melakukan Akta Jual Beli sebanyak 63 buah bidang tanah sebagai dasar terbitnya 63 Sertifikat HGB atas nama PT. Nirvana Memorial Nusantara.
Akan tetapi temuan menariknya adalah tidak ada satupun orang-orang yang bertanda tangan pada ke-63 Akta Jual Beli (sebagai dasar terbitnya 63 Sertifikat Hak Guna Bangunan atas nama PT. Nirvana) yang merupakan warga Desa Rambung Baru, malah warga lain yang berada di Desa lain. Belum lagi soal sertfikat tersebut terdaftarnya di Desa Bingkawan, padahal dilapangan sudah jelas secara faktual, lokasi PT Nirvana ada di Desa Rambung Baru. Kami sangat menduga kuat bahwa ini merupakan permainan Mafia Tanah. Secara letak geografis, lahan yang akan diolah tersebut merupakan dataran tinggi, yang sangat berpotensi kuat akan menimbulkan dampak lingkungan yang bekepanjangan.
Selanjutnya kasus masyarakat adat yang mempertahankan wilayah adatnya, sdr.Sorbatua Siallagan Masyarakat Adat kampung Dolok Parmonangan desa pondok buluh kec. Dolok Panribuan kab. Simalungun menjadi korban kriminalisasi dan hukuman pidana padalah beliau memperjuangkan tanah adatnya yang dituduh menduduki dan membakar hutan konsesi Toba Pulp Lestari (TPL) divonis bersalah dan ditahan 2 tahun penjara dengan denda 1 milyar.
Intimidasi dan Kriminalisasi
Pejuang agraria yang tergabung dalam APARA sering mendapatkan intimidasi dan krimininalisasi. Jumlah keseluruhan pejuang agraria yang harus berhadapan dengan hukum yang belum adil. Berdasarkan catatan APARA adapun jumlah petani dan masyarakat adat yang dintimidasi dan dikriminalisasi berjumlah 12 orang.
Adapun bentuk intimidasi dan kriminalisasi adalah pemanggilan dari aparat yang berwenang, tekanan fsikologis yang kami duga dari unsur pemerintah lokal dan perwakilan perusahaan serta pihak lain yang memang memiiki kepentingan pada lahan yang dikuasai rakyat tersebut.
Tentu apa yang terjadi diatas merupakan upaya yang tidak fair dan tidak berbasis pada norma hukum yang ada. Masyarakat yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan dan memperjuangkan lahannya agar tidak dirampas, harus berhadapan dengan intimidasi dan kriminalisasi sebagaimana diterangkan diatas. Belum lagi soal sebahagian wilayah yang telah menjadi lokasi LPRA, harus berhadapan dengan persoalan yang sama. Tentu ini apa yang terjadi ini membuat kita miris dan sangat tidak berkeadaban dan bermoral.
Oleh sebab itu, berdasarkan apa yang kami sampaikan diatas, Aliansi Pejuang Reforma Agraria (APARA) mendesak dan menuntut:
- Usut Tuntas Mafia Tanah dan Korupsi Agraria di Kantor Wilayah AT/BPN Sumatara Utara;
- Tangkap dan adili Mafia Tanah diLokasi Pioritas Reforma Agraria;
- Jangan terbitkan izin dan sertifikat HGU/HGB diatas tanah yang berkonflik dan beri perlindungan kepada petani, masyarakat adat, dan aktivis HAM, Lingkungan dan Mahasiswa;
- Hentikan berbagai tindakan intimidatif, represif dan kriminalisasi pada petani, Masyarakat Adat yang memperjuangkan tanah adatnya;
- Hentikan berbagai upaya penggusuran dan perampasan tanah menggunakan kekerasan dan pelibatan aparat dengan dalil Penyelamatan aset Negara;
- Laksanakan Reforma Agraria sejati dan tegakkan UUPA dalam penyelesaian agraria di Sumatera Utara;
- Utamakan pemenuhan hak rakyat dalam program PSN atau program lainnya yang berpotensi menghilangkan penghidupan bagi petani dan masyarakat adat;
- Menolak keberlanjutan proyek dan korporasi yang menyengsarakan petani dan masyarakat adat seperti proyek Deli Mega Politan, Sport Center, PTPN II & IV, PT. Dairi Prima Mineral, PT TPL;
Dibutuhkan kepekaan dalam memandang konflik-konflik agraria di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara. Bahwa konflik agraria bukanlah kasus individual dan insidental semata, melainkan persoalan bersama dan bersifat struktural.