Jangkau.com – Kurang dari 8 hari lagi, perhelatan nasional Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan memasuki tahapan pendaftaran pasangan calon (paslon). Raja-raja kecil akan dipilih oleh rakyatnya, baik di tingkat Kabupaten, maupun Provinsi.
Gelaran akbar itu akan dilangsungkan di 545 daerah yaitu di antaranya 37 provinsi, 415 kabupaten, serta 93 kota. Melibatkan setidaknya 204,8 juta pemilih di seluruh Indonesia (berdasarkan daftar pemilu tetap Pemilu Legislatif 2024).
Sungguh sebuah pesta demokrasi yang luar biasa besar dan mewah. Serta berbiaya fantastis menguras APBN serta APBD di tengah defisit anggaran pusat dan daerah, dengan iming-iming hadiah doorprize suksesi kepala daerah yang mendapatkan simpatik dan dukungan rakyatnya, namun belum jelas kinerja dan kontribusi manfaatnya bagi masyarakat bernegara. Yang pasti akan dilahirkan raja-raja kecil di setiap daerah.
Di tanah melayu, raja-raja kecil itu lazimnya dinamakan “Datuk”, yang memimpin satu wilayah kedatukan. Kedatukan-kedatukan ini selanjutnya tunduk di bawah Sang Maha Raja, bernama Sultan. Sultan lah yang mendaulat dan melegitimasi kekuasaan Datuk memimpin dan mengelola wilayahnya. Hanya saja, daulat dan legitimasi itu berbayar, umum mengenalnya dengan upeti.
Kadang untuk menyamarkannya, kalangan istana menyebutnya hadiah kepada Sultan. Datuk-Datuk ini dipilih dan meneruskan kekuasaan melalui garis keturunan kebangsawanannya. Begitu pula para Sultan, adalah dilahirkan dari garis darah birunya. Datuk-Datuk yang tidak tertib di dalam “silaturahmi”, biasanya akan rentan akan gangguan, seperti penyerangan, pemenjaraan, pendzaliman, pemakzulan, hingga penculikan bahkan pembunuhan. Begitu biasanya para Maha Raja dan hulu balangnya bekerja dalam menjaga kekuasaan.
Kembali kepada gawean besar tahun 2024 ini. Setelah agenda suksesi dan transisi politik melalui Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) sudah sangat baik terlaksana, maka Pilkada serentak adalah babak pamungkas dari babak sebelumnya. Pilkada adalah perampungan rancang bangun politik 5 sampai dengan 20 tahun mendatang yang telah disusun serta sudah dilegitimasi melalui Pilpres dan Pileg.
Satu hal yang harus difahami publik hari ini. Bahwa Pilpres, Pileg, dan Pilkada serentak yang awalnya diimajinasikan sebagai sebuah terobosan politik modern yang baik agar secara pengganggaran, penjadwalan, pelaksanaan dan pengkondisian situasi bisa dilakukan dengan baik dan terkoordinir, namun kita semua harus sadar bahwa pemetaan politik Indonesia dalam format Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak adalah alat politik kekuasaan untuk menganalisa, memetakan, mengkondisikan serta memastikan penempatan kekuasaan secara lebih sederhana di seluruh wilayah Indonesia.
Harus kita sadari, bahwa Pilpres langsung yang kita yakini sebagai salah satu buah jolokan pohon politik prematur bernama reformasi adalah salah di dalam pengertian. Justru Pilpres langsung adalah jalan bagi pemilik dan pemangku kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan politik selanjutnya. Itulah yang terjadi kemudian dengan pelaksanaan Pileg dan Pilkada serentak.
Harus kita maklumi, bahwa peristiwa politik demokrasi yang kita kenal dengan Pemilihan Umum ini adalah sebuah produk keilmuan yang awalnya bukan untuk tujuan pengelolaan ketatanegaraan dalam arti memilih kepala negara, wakil rakyat dan kepala daerah. Bagi pemilik kekuasaan dan mereka yang diatasnya, pemilihan umum adalah sebuah legitimasi kekuasaan oligarki menjalankan segala keinginan bisnisnya atau visi misi mereka lainnya.
Tidak lebih dari itu. Sehingga bagi oligarki, pemilihan umum bukanlah peristiwa politik namun hanya sebuah kegiatan statistik yang bisa ditakar dan diukur bahkan diatur.
Terlambat bagi kita menyadari bahwa semua data-data statistik dan teritorial serta kegiatan politik diatas seperti Pilpres, Pileg dan Pilkada serentak adalah sebuah rumus excel sederhana bagi konsultan Oligarki dalam mencapai hasil akhir yang dimaui oleh pemesannya. Dan itu, tanpa kita sadari, sudah berlangsung dari era 2004 awal Pemilihan Presiden langsung pertama kali. Sebelumnya, Oligarki bekerja mempergunakan mekanisme yang diajarkan Montesquieu dengan Trias Politica nya menjadi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Bahwa ketiga golongan kekuasaan ini saling isi dan bekerjasama didalam ketatanegaraan di Indonesia.
Namun apakah Oligarki ada disitu? Tidak, namun dia mengangkangi 3 golongan kekuasaan dimaksud. Bahkan pasca reformasi, Konsorsium Oligarki harus merubah pola kerja dengan skema Pemilihan Umum langsung, baik Presiden, Wakil Rakyat dan Kepala Daerah.
Kalau saya membuka dan kisah dengan data di awal, kemudian melanjutkan dengan penjelasan kekuasaan di masa kerajaan, adalah kiranya untuk memberikan penggambaran politik kita sebenarnya adalah berjalan mundur, dari demokrasi menjadi feodalis modern. Dengan demokrasi, kita harusnya sebagai rakyat bertambah dewasa dan cerdas. Bahwa sultan-sultan bukanlah pemangku kepentingan di masa itu, kiranya ada penjajah yang memiliki visi misi besar dan khusus di dalam aksi imprealisnya.
Saya kira, dalam tulisan ini saya mengajak, kita untuk berpikir lebih prinsipil dan terstruktur, di dalam melihat fenomena ini. demokrasi ini. bahwa pelaksanaan Pemilu seharusnya menjadi benar dan tepat tujuan, dengan satu ruh adalah langsung, umum, jujur dan rahasia, dengan satu itikad baiknya adalah menentukan pemimpin dan wakil rakyat menjalankan roda bernegara dan berbangsa.
Bahwa pemetaan statistik, demografi, dan teritorial, money politik sampai kepada pengkondisian law enforcement support system adalah pengkondisian yang kerjakan Oligarki, yang kemudian diadopsi raja kecil menjadi sebuah kepintaran baru, padahal itu semua adalah prinsip-prinsip yang sengaja diajar oleh oligarki sehingga kemudian dalam pelaksanaannya tidak lagi membebani mereka.
Inilah selanjutnya kita sebut sebagai sebuah sistem di atas sistem hidup. Yang pada akhirnya, Oligarki mendapatkan semua sumberdaya dari sebuah sistem yang mereka cipta dan ajarkan kepada kita, menjadi jalan dan sebuah perangkat bagi mereka untuk mengatur dan menentukan hidup dan cara kita hidup, mencapai tujuan-tujuan tersembunyi yang berorientasi globalistik.
Jadi, Pilpres, Pileg dan Pilkada bukanlah peta kemenangan rakyat dan bangsa Indonesia, tidak lain dan tidak bukan hanyalah gambaran dan rancangan kemenangan oligarki terhadap bangsa dan negara Indonesia. Selamat berpikir, jangan merasa sedang menikmati sepuntung rokok di jamban yang bersih, padahal sedang menghisap tai ke dalam badan, begitu oligarki menyuapi tai (kotoran) ke dalam mulut kita. Bukan dengan kedua tangannya, tapi dengan tangan dan uang kita sendiri.
Danil Fahmi, SH Analisis Komunikasi Politik