Jangkau.com – Batu Bara: Di ujung masa berlaku Build, Operate and Transfer (BOT) pada 13 Desember 2013, Pemerintah Indonesia mengakuisisi PT. Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) dari konsorsium perusahaan Jepang yang dipimpin PT. Nippon Asahan Aluminium (NAA) yang mengelola sejak 6 Januari 1976. Pada 21 April 2014, INALUM resmi menjadi BUMN ke-141, yang selanjutnya pada 27 November 2017, INALUM ditunjuk menjadi Holding Industri Pertambangan, dengan alasan kepemilikan saham Republik yang dominan. Saat ini, INALUM dimiliki oleh PT. Mineral Industri Indonesia (MIND.ID) sebagai perseroan gabungan tambang ciptaan Kementerian BUMN. Hampir 50 tahun sampai hari ini, INALUM hanyalah besi tua yang dibeli Indonesia dari Jepang. Tak lebih dari itu sebab lebih 30 tahun segala manfaat dah hasil INALUM sudah diperas, diperah dan dikerat oleh Jepang yang lebih dari 60% (lebih dari 220.000 ton) hasil produksinya dikirim ke Jepang untuk mengamankan pasokan domestik aluminium Jepang. Yang tinggal hanyalah bendungan tua di Sigura-gura yang tak mampu meningkatkan kapasitas produksi listriknya lagi. Begitu juga, smelter ringkih yang terdampar di Kuala Tanjung, yang tak mampu meningkatkan kapasitas produksi leburnya.
Baca : Misteri Pajak Penerangan Jalan Gelap Sepanjang Jalan
Di awal 2024 lalu, Danny Praditya, Direktur Utama INALUM saat itu menarget produksi aluminium hingga 274.140 ton yang terbagi menjadi tiga produk yakni Ingot, Alloy dan Billet. INALUM mencapai All-Time High Achievement Supply Chain & Commercial Management 2024 dengan kinerja produksi mencapai 265.546 kT per tanggal 22 Desember 2024 yang merupakan capaian tertinggi sejak 2014 sebesar 264.474 kT. Selanjutnya, penjualan aluminium INALUM juga mencapai level tertinggi sebesar 263.195 metric ton (MT), yang merupakan rekor tertinggi sejak 2013 di level 260.651 MT, demikian paparan Direktur Utama INALUM Ilhamsyah Mahendra pada 28 Desember 2024 lalu. Tak ada yang “spesial” dari capaian itu, karena tahun 2011 saat INALUM masih berbendera PMA (Penanaman Modal Asing) sudah mampu memproduksi 246.331 ton aluminium batangan. Ironinya, Indonesia tidak pernah menikmati produksi INALUM itu dengan baik, padahal kita adalah pemilik saham 41% lebih, bahkan INALUM melalui NAA tidak pernah menyampaikan laporan keuangan kepada Pemerintah melalui Kementerian BUMN periode 2005-2010. Setidaknya itu dikeluhkan Petinggi Kementerian BUMN Said Didu saat itu.

Berdasarkan data laporan INALUM periode 2005 sampai dengan 2011 diperoleh rata-rata produksi telah mencapai 248.771,46 ton/tahun. Sehingga hanya naik 16.474,54 ton dari angka capaian tahun 2024 atau growth 6,21% dengan raihan laba $173,29 Juta. Bila dibanding dengan capaian 2014, maka kenaikan produksi hanya 772 ton. Dapat kita analisa kondisi produksi yang cenderung stagnan dan sulit diangkat dikarenakan tidak adanya alih dan pemutakhiran teknologi yang dijalankan oleh INALUM sepanjang 36 tahun operasional era Jepang menduduki. Padahal, harusnya dengan kepemilikan saham dan juga tujuan awal kerjasama Indonesia-Jepang ini pasti harusnya memberikan dampak distribusi teknologi ke pihak Indonesia. Kondisi ini dapat kita ketahui pula dengan mudah dari keberadaan persoalan-persoalan proses produksi yang titik beratnya ada pada penggunaan tungku-tungku produksi yang sudah tua dan teknik opersional produksi lainnya. Pada momen itu, banyak keluhan internal karyawan yang merasakan INALUM seperti tidak siap dilepaskan oleh Jepang, dan Indonesia belum matang dan mapan mengelola perusahaan produksi aluminium terbesar dan satu-satunya di Indonesia. Bahkan untuk urusan internal auditor, INALUM gagap dan gugup hingga sampai sampai melakukan rekrut auditor dari internl BPK agar tidak tersandung persoalan administrasi pemeriksaaan negara. Selain sumber kelistrikan yang mencukupi dan murah, perawatan, perbaikan dan peningkatan fungsi produksi pada tungku-tungku lebur adalah kunci utama teknologi produksi atau pemurnian alumina.
BACA : CSR INALUM bukan milik Bupati. CSR untuk masyarakat rentan, Bukan golongan
Penelusuran redaksi di lapangan, bahwa pelaksanaan perbaikan serta peningkatan fungsi tungku diserahkan INALUM pada kontraktor luar negeri seperti dari Dubai dan China. Hal ini tentunya tidak lepas dari ketidaksiapan dan perencanaan kesinambungan industri yang gagal dari sumber daya manusia INALUM yang bertahun-tahun hidup dari perusahaan. Sehingga dapat kita pastikan bahwa pemberian hak eksplorasi dan penguasaan sumber daya kepada pihak asing dengan tujuan alih teknologi adalah isapan jempol negara kepada rakyat. Sejatinya, INALUM sudah membuktikan kegagalan itu periode peralihan INALUM dari NAA ke Pemerintah Republik Indonesia. Di sisi lain, Chief Executive Officer atuapun Board of Director INALUM yang kerjanya tak pernah ngantor di smelter site Kuala Tanjung yang terus menerus jualan peninkgkatan produksi dan kapasitas bisnis INALUM sampai ke event-event besar di Luar negeri dapat dipastikan hanya lip service dan ngecap saat presentasi didepan pemimpin Kementerian dan Presiden. Peningkatan target produksi yang signifikan tidak akan dapat diharapkan dari INALUM dengan pola perencanaan alih teknologi saat ini yang hanya mengharapkan pihak ekesternal atau sistem vendor. Sedangkan seharusnya, saat ini INALUM sudah bisa menjadi pioneer dan pemimpin pasar dan teknologi produksi aluminium dunia. Disamping itu, isu keterbatasan dan persoalan air Danau Toba yang menjadi sumber enegri penggerak kelistrikan pada PLTA Sigura-gura dan isu ketersediaan dan keterbatasan sumber daya bahan baku alumina. Satu-satunya hal yang masih bisa diharapkan dari eksistensi kontribusi INALUM ke Negara adalah dikarenakan masih murahnya nilai produksi listrik yang dihasilkan sendiri oleh INALUM tersebut, yang sejatinya masih bisa menghasilkan untung besar dividen bagi negara walaupun dengan beralih fungsi menjadi BUMN penghasil dan penyedia listrik negara. Hal ini karena signifikansi hasil sektor pertambangan yang diharapkan dari BUMN tambang sekelas INALUM tidak didapatkan semenjak era peralihan tahun 2013 hingga hari ini. (redaksi)