Jangkau.com – Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus siap melawan Anies dan PDIP. Koalisi Gendut KIM Plus terdiri dari 9 partai politik anggota KIM dan beberapa parpol di luar koalisi tersebut. Anggota asli KIM adalah Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, Garuda, dan Prima. Koalisi bertambah dengan bergabungnya PKS, PKB, PPP, Perindo, dan Nasdem. Fenomena KIM Plus ini mencuat saat perebutan DKI Jakarta yang ujungnya akan membuat Pilkada DKI berpotensi lawan kotak kosong. KIM yang awal adalah gabungan partai pendukung Prabowo-Gibran pada kontestasi Pilpres 2024, kemudian diperluas dengan partai tambahan lainnya.
Fenomena KIM Plus menyeruak di Pilkada serentak 2024 ini, dimana berbagai daerah seolah mengikut atau bisa jadi dipolakan menjadi konstelasi politik pusat yang diterapkan pada masing-masing daerah. Sebagai contoh pada Pilkada Sumatera Utara, partai pendukung bakal calon Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution antara lain Gerindra, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, PKB, dan PKS yang merupakan 63% kursi dari 100 kursi DPRD Sumatera Utara. Sungguh koalisi yang sangat potensial untuk pemenangan kontestasi ini.
Dalam strategi lanjutannya, secara politis Bobby mendorong para calon kepada daerah tingkat II (Kabupaten Kota) untuk melakukan kolaborasi yang sama sehingga dalam taktik lapangannya tujuan pemenangan Bobby menjadi selaras dengan capaian pilkada di daerah tingkat II.
Hal yang sama, dilakukan bakal calon Bupati Batu Bara Baharuddin Siagian, yang disanterkan memborong partai partai besar selain PDIP yang sudah jelas mendukung Zahir sebagai incumben dan kadernya. Partai-partai yang dikabarkan sudah diborong Bahar antara lain Gerindra, Golkar, PPP dan PKS yang memguasai 16 kursi DPRD Batu Bara (40% kursi DPRD). PKS malahan sudah menyampaikan dukungannya secara resmi.
Dalam spanduk yang beredar di Batu Bara, klaim atas dukungan Gerindra sudah beredar ramai untuk Bahararuddin, yang disandingkan dengan dukungan Gerindra kepada Bobby. Padahal, nyatanya dukungan resmi dalam bentuk B1KWK Gerindra kepada Bobby baru rilis per 23 Agustus 2024, sedangkan untuk Baharuddin di Batu Bara belum ada kepastian dari partai. Sungguh fenomena memborong dan klaim dukungan partai ini kurang sesuai dengan semangat perhelatan Pilkada yang menginginkan lahirnya pemimpin baru yang jujur, bertanggung jawab dan mampu membangun daerah.
Memang, dari kedua contoh strategi dua bakal calon yang membentuk koalisi gendut itu, tidak ada yang keliru dalam gerak strategi politik. Namun koalisi gendut ini bisa disebut sebagai operasi borong partai ini tidaklah cara berpolitik yang sehat bagi demokrasi. Sejatinya ambang batas yang ditetapkan ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada calon lain untuk ikut berkompetisi. Dan itu pula yang menjadi salah satu sebab aksi demonstrasi besar-besaran pada Kamis 23 Agustus 2024 lalu di DPR RI Jakarta, yang menolak pembatasan kesamaan peluang dalam Pilkada serentak ini.
Benar adanya bahwa demokrasi mengedepankan musyawarah untuk mufakat yang diletakkan pada kesamaan visi dan misi bersama. Bersama inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai koalisi. Tapi berbeda jauh dengan fenomena Pilkada serentak, dimana terjadi operasi borong partai yang bisa dikatakan adalah strategi dan taktik transaksional yang dilakukan oligarki, bukan ruh yang menghidupi demokrasi yaitu keinginan bersama.
Karena transaksi borong partai itu, partai akan disandera oleh bakal calon. Lebih-lebih saat ini, lazim diketahui khalayak banyak kepala daerah yang bukan berasal dari kalangan kader partai murni. Namun adalah persona-persona yang punya kemampuan “finansial lebih”, sehingga sangat berkemungkinan secara instan melakukan operasi borong partai.
Tentunya karena ini adalah bersifat transaksional. Maka seluruh biaya sudah diperhitungkan secara futuristik sebagai logistik politik berbiaya tinggi, pada akhirnya berujung pada utak-atik anggaran pembangunan daerah. Rakyat lah yang akan dirugikan, karena kekayaan dan sumberdaya hasil negara, pajak dan lain-lain pendapatan dari rakyat akan “diolah” sebagai usaha pengembalian logistik finansial politik yang tidak sehat. Pilihlah kepala daerah yang amanah, setidaknya menjauhkan rakyat dari bahaya politik transaksional yang membunuh demokrasi.
Danil Fahmi, SH Analisis Komunikasi Politik