Jangkau.com – Saya baru saja bekerja di Bank plat merah ketika Kabupaten Batu Bara disahkan berdiri 2 Januari 2007. Namun saya masih ingat beberapa peristiwa dan tahapan proses yang dijalani pejuang pendiri Batu Bara beberapa tahun sebelum itu. Mulai dari berdiskusi, berkoordinasi dan mencari dukungan politik banyak pihak, aksi demonstrasi berjilid-jilid hingga puncaknya berbagai dokumen analisa dan kelengkapan berkas dikirimkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di Jakarta, bahkan di atas itu banyak simpang siur dan ketidakyakinan berbagai pihak atas kemampuan wilayah kewedanaan Batu Bara ini menjadi kabupaten baru di Sumatera Utara.
Tapi apa jadi, Kabupaten yang menyatakan hari jadinya setiap 8 Desember ini ditetapkan rapat paripurna oleh Senayan menjadi Kabupaten otonom baru dan berpisah dari kabupaten Induknya Asahan. Setidaknya itulah oleh-oleh reformasi dalam ujud demokrasi otonomi daerah.
Kini, 17 tahun sudah kabupaten ini berdikari. Dan saya memutuskan resign dari tempat bekerja dan kembali ke kampung halaman kabupaten Batu Bara. Banyak perkembangan dihadirkan para pemangku tanggung jawab pemerintahan. Yang fenomenal, progres peningkatan APBD yang sebelumnya hanya ratusan milyar, hari ini berganti wujud satuan menjadi triliyunan.
Sungguh angka fantastis bukan? mengingat luas wilayah yang kurang dari 1.000 km² dengan potensi yang tak begitu menonjol, bahkan nyaris datar secara Sumber Daya Alam. Kecuali hanya keberadaan pelabuhan laut yang semula dibangun PT. Inalum guna mengangkut ingot ke luar negeri atau memasukkan bauksit ke smelter site. Setidaknya kini, ada tambahan pelabuhan Multi Purpose Terminal milik PT. Pelindo dan Pelabuhan Group Wilmar.
Sungguh sebuah capaian potensi wilayah yang luar biasa. Mengingat tak ada satu wilayah pun di nusantara dengan lanscape infrastruktur hubungan laut bertaraf internasional sehebat Batu Bara di Kuala Tanjung. Apatah lagi, sedang dibangun Kawasan Industri Kuala Tanjung serta bila kurang, akan ada puluhan tenant industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei yang akan mengirimkan produknya ke mancanegara maupun domestik melalui pelabuhan di Kuala Tanjung dengan jarak tempuh darat yang hanya 48 km. Tentunya akan menjadi pilihan utama dalam mobilisasi logistik produk. Tambahan lainnya, jaringan kereta api khusus yang menghubungkan Kawasan Industri Kuala Tanjung dengan KEK Sei Mangkei plus terkoneksi dengan Pelabuhan Belawan atau Kawasan Industri Medan serta berbagai wilayah di Sumatera Utara.
Sungguh molek Batu Bara. Dengan UMK 2024 peringkat ketiga tertinggi setelah Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang, yang keduanya adalah Kabupaten besar dan kaya potensi serta lebih tua. Tak berlebihan bila Batu Bara menjadi episentrum perkembangan daerah-daerah. Dengan Kota di pesisir pantai timur yang terhubung langsung dengan Selat Malaka yang diketahui bersama adalah urat nadi hubungan internasional Asia Tenggara kalau tak mau diklaim simpul ekonomi laut Benua Asia.
Sebagai pusat perkembangan industri dan ekonomi. Begitu pula sebagai pusat perkembangan sosio antropologi budaya serta politik di Sumatera Utara. Dalam arti, apa yang tercipta di Batu Bara adalah patron bagi kabupaten lain.
Terdapat pula, sumber daya lain yang dimiliki Batu Bara, termasuk potensi perkebunan, pertanian dan perikanan. Kesemua potensi inilah yang menjadi catatan Pemerintah Pusat dalam memutuskan kelahiran Batu Bara sebagai Kabupaten Baru kala itu.
Dalam pada itu, pemimpin daerah jua juru kunci penting perkembangan suatu wilayah. Di mulai dengan pilkada pertama pada 2008 yang dimenangkan pasangan independen pertama di Indonesia “OK. Arya Zulkarnain dan Gong Matua”, berkontribusi besar bagi peletakan pondasi ekonomi dan tata kelola kabupaten. OK. Arya maju lewat jalur perseorangan ketika itu, tak memiliki beban politik dalam membangun Batu Bara. Kecuali hanya peletakkan sistem keuangan dan pemerintahan yang baik, yang hari ini telah menjadi dasar atau pondasi awal tata kelola pemerintahan dan keuangan yang berkesinambungan. Menobatkan Batu Bara sebagai salah satu Kabupaten diperhitungkan di Sumatera Utara.
Saat ini, agenda pilkada serentak 2024, hampir berakhir minggu ke 3 Agustus. Belum ada kepastian informasi dan konfigurasi pasangan calon kepala daerah yang hendak tarung merebut orang nomor wahid di Batu Bara. Tak tampak wujud euforia dan antusias para tokoh dalam semangat membangun tanah bertuah ini. Berbalik terbanding jauh format sirkulasi politik yang terbangun dari era 2008, sampai era Zahir menjadi Bupati. Partai Politik begitu berperan di titik ini, yang awalnya adalah konsep penentuan kepala daerah lazimnya mengambil aspirasi bottom up kini menjadi top down sehingga peta politik nasional mencetak acuan daerah-daerah, termasuk Batu Bara.
Penguasaan politik di Batu Bara adalah kunci penguasaan politik pesisir pantai timur Sumatera Utara. Berdasarkan demografi dan antropologis nya, Batu Bara adalah patron dan cerminan bagi Kabupaten sekitaran Pantai Timur, sperti Serdang Bedagai, Tebing Tinggi, Asahan, Tanjung Balai hingga Labuhan Batu, se-umumnya dalam 5 sampai 10 tahun ke depan. Sebab, akan ada absorbsi dan konsentrasi demografi di seputar Batu Bara dan beberapa daerah penyangga.
Ini terbukti. Dengan pendirian smelter site PT. Inalum di Kuala Tanjung, Kota Tebing Tinggi dan Asahan sebagai buffer state mendapatkan banyak keuntungan ekonomi dari itu. Apalagi saat ini, dengan pembangunan Kawasan Industri Kuala Tanjung (KIKT) dan telah berdirinya beberapa perusahaan Multi Nasional lainnya, seperti PT. Multimas Nabati Asahan (Wilmar International Group) dan PT. Bakrie Renewable Chemicals), PT. Prima Multi Terminal (Pelindo Group).
Maklum kita fahami. Bahwa masyarakat industri cenderung memiliki pola politik yang seragam dan monoton, serta dapat dimobilisasi dengan mudah. Begitu pula konsentrasi di Kawasan Ekonomi Khusus Sei Mangkei yang sejatinya milik pemerintahan Simalungun, akan lebih menguntungkan Batu Bara. Mengingat, secara geografis berada di ujung Simalungun dan berbatasan langsung dengan Batu Bara. Sehingga dalam operasional dan mobilisasinya banyak ditopang oleh sumber daya dari Batu Bara.
Selanjutnya, kenyataan politik transisi dan transformasi 2024 ini, PDI Perjuangan terlihat absolut mendominasi, yang dalam perjalanan nya Partai Gerindra merangsek perolehan partai lain. Pola berbeda juga terjadi di tingkat Provinsi Sumatera Utara, dimana partai Golkar mengatasi lawan politik dengan 22% kursi DPRD Sumut, begitu pula dengan perolehan nasional masih dikuasai oleh Golkar.
Peta kemenangan Pilpres 2024 hadirkan pembeda cuaca politik ke depan. Dimana Gerindra ingin tampil mendulang pengaruh di Sumut yang notabene masuk daftar wilayah potensial di Pulau Sumatera. Begitu pula lah Batu Bara ini, menjadi incaran Gerindra dalam penyusunan rancang bangun politik jangka pendek 5 hingga 10 tahun ke depan.
Pemetaan dan penguasaan serta potensi wilayah-wilayah ini lah yang akan memastikan perubahan peta politik masa depan. Dimana Kabupaten Batu Bara akan menjelma menjadi episentrum kawasan pesisir timur Pantai Sumatera. Kesamaan demografi dan antropologis mencorakkan kunci pengait antar wilayah pesisir timur Pantai Sumatera. Yang mana dominasi latarbelakang kesukuan, agama, ras, dan pola ekonomi menjadi sendi pengambilan keputusan strategis partai politik dalam menjalankan taktik politiknya.
Oleh Danil Fahmi, SH – Analisis Komunikasi Politik.